Kegelisahan terpancar di fajar yang mulai menebar
senyumnya, Zion si anak agresif itu berburu buah untuk persembahannya sore
nanti, melewati lebatnya hutan kenyataan yang sebenarnya tak berpihak bahkan
hanya menyesatkan pandangannya. Ditemani semilir angin, ia mulai menggendong
tenggoknya, alat yang akan ia gunakan untuk mengangkat hasil panen dari
pembesarnya. Upahnya memang cukup besar, bahkan lebih jika hanya digunakan
untuk kesehariannya serta sedikit menabungnya. Ada seorang yang sebaya
dengannya melayangkan sebuah pertanyaan,
“hei.. kemana para penyayangmu? Kenapa kau hidup di bawah tekanan ini?
Kamu orang yang ulet, cerdas, kenapa hanya menjadi budak di kerajaan pemilik
buah itu? Kau hanya diperas”
Ia menjawab, “panggil aku Zion, aku disini karna aku mencoba. Hal yang tak
kutemukan di dalam realita keseharian gubugku”
“Oia, kau bisa panggil aku Yeza. Mengapa begitu? Apa kau tak bersyukur
dengan apa yang mereka hidangkan untukmu setiap pagi, siang, malam? Apa yang
masih kurang dari mereka?”
“Tak kurang, aku bukan orang tak mampu bersyukur dengan hidangan itu.
Kasih sayang itu ada, amat banyak kudapatkan seperti mendapat berkah hujan dari
langit.” Jawab Zion
“Lalu apa yang membuatmu lari ke kerajaan dusta ini? Semua telah mampu
melegakan rasa haus dan mengenyangkan laparmu, bahkan mampu mengangkatmu dalam
kenyataan yang indah?” tanya Yeza
“Apa sebatas untuk mengenyangkan, diri ini harus berpijak dengan hukum
yang tertata seperti memenjara raga juga hati dan fikiran? Kau tak mengerti,
Yesa! Aku seperti orang yang harus membuat jadwal untuk bertemu pembesarku, dia
terlalu sering melompat-lompat dan berdiam diri dengan kertas-kertasnya”