Beranjak dari pertemuanku dengannya di waktu itu,
aku merayakan titik akhir perjuanganku, tertawa dengan segala sesalku, juga
tersenyum dengan hampa alur pilihanku. Aku memandang barisan kata yang tertulis
dalam lembaran yang kini terbakar, melihatnya seolah sebuah penyesalan. Aku
memetik hasil dari cerita yang kurangkai setiap harinya, menikmati klimaks dari
alur cerita yang kutulis dengan pena sandiwara. Aku terdiam, terdekap dalam
selimut sunyi kamarku. Aku bernostalgia, aku merangkul erat bayangan serta
senyuman yang kini menyiksa batinku. Mungkin aku hanya belum bisa menerima
sebuah kenyataan, mungkin juga karena
aku masih memiliki mimpi untuknya. Barisan memori mengitari otakku, pigura
serta gambar masa silam mengunci akal pikiranku agar selalu tertumpu padanya,
agar bergeming dan selalu bergeming pada cerita nostalgia yang sama. Kupegang
erat kepalaku, sekuat energiku berusaha melepaskan beban berat itu, aku mencoba
untuk tidak letih, lalu berkata pada pikiran dan hatiku, aku tegar dan aku akan
kuat meski hanya bersama malam. Aku persiapkan mentalku, aku persiapkan hatiku,
dan esok aku akan datang untuk mereka, karena aku hebat dan mampu terbang dari barisan
kenangan.
Beberapa bulan lalu aku masih mendekap cinta kasih
itu, serta raganya masih menemani langkah dan menemani pikiranku setiap
detiknya. Rasanya penuh untukku, cintanya tertuju dengan sekuat energi, dan
wanita itu tangguh untuk menghadapi hal labil dari bodohnya pemikiran serta
sikap dinginku. Kebahagiaan terasa utuh ketika aku disisinya, ketika ia begitu
hebat dalam meredam amarahku, begitu cerdik memotong nafsu gilaku. Wanita
seperti inilah yang mungkin akan menuntunku, dan seperti dialah yang akan
menarikku menuju sisi jalur yang benar.