Beranjak dari pertemuanku dengannya di waktu itu,
aku merayakan titik akhir perjuanganku, tertawa dengan segala sesalku, juga
tersenyum dengan hampa alur pilihanku. Aku memandang barisan kata yang tertulis
dalam lembaran yang kini terbakar, melihatnya seolah sebuah penyesalan. Aku
memetik hasil dari cerita yang kurangkai setiap harinya, menikmati klimaks dari
alur cerita yang kutulis dengan pena sandiwara. Aku terdiam, terdekap dalam
selimut sunyi kamarku. Aku bernostalgia, aku merangkul erat bayangan serta
senyuman yang kini menyiksa batinku. Mungkin aku hanya belum bisa menerima
sebuah kenyataan, mungkin juga karena
aku masih memiliki mimpi untuknya. Barisan memori mengitari otakku, pigura
serta gambar masa silam mengunci akal pikiranku agar selalu tertumpu padanya,
agar bergeming dan selalu bergeming pada cerita nostalgia yang sama. Kupegang
erat kepalaku, sekuat energiku berusaha melepaskan beban berat itu, aku mencoba
untuk tidak letih, lalu berkata pada pikiran dan hatiku, aku tegar dan aku akan
kuat meski hanya bersama malam. Aku persiapkan mentalku, aku persiapkan hatiku,
dan esok aku akan datang untuk mereka, karena aku hebat dan mampu terbang dari barisan
kenangan.
Beberapa bulan lalu aku masih mendekap cinta kasih
itu, serta raganya masih menemani langkah dan menemani pikiranku setiap
detiknya. Rasanya penuh untukku, cintanya tertuju dengan sekuat energi, dan
wanita itu tangguh untuk menghadapi hal labil dari bodohnya pemikiran serta
sikap dinginku. Kebahagiaan terasa utuh ketika aku disisinya, ketika ia begitu
hebat dalam meredam amarahku, begitu cerdik memotong nafsu gilaku. Wanita
seperti inilah yang mungkin akan menuntunku, dan seperti dialah yang akan
menarikku menuju sisi jalur yang benar.
Sisi lain dari gambaran ceria tentang aku dan wanita
itu terdapat hal bodoh yang membuatku terperosok dalam jurang penyesalan. Aku
mulai bermain dengan hal yang buas, aku menguji hal yang sudah pasti dan tak
perlu di tes kembali. Aku mencoba menyakitinya sedikit, lalu melihat
kesabarannya dalam menghadapi perubahanku. Aku menyayatnya lagi dengan aku yang
berjiwa baru, dengan pemikiranku yang semaking menggila, dan disaat itu, ia
masih bertahan dan mampu berkata padaku “perubahan
itu tidak menggoyahkanku, dan hatiku tidak berpaling darimu”. Aku cukup
puas dengan apa yang kuperoleh dari pengujianku padanya. Aku diam, aku tenang,
dan aku semakin mencintainya.
Bulan berganti, dan kami sudah merencanakan satu
hari dimana kami akan saling mengenal lebih jauh. Wanita itu berencana
memperkenalkanku kepada Ayah dan Ibu serta kepada keluarganya. Siap atau tidak,
aku akan menghadapi hal ini. Dan motivasiku adalah menjadi imam untuknya di
suatu hari yang indah nanti. Perkenalan itu cukup harmonis, tidak ada tanggapan
negatif atau suara sumbang yang tertuju untuk hubungan kami. Aku cukup lega dan
berfikir bahwa cerita cinta ini akan lancar, dan rintangan akan menjauh karena
kami memang di takdirkan untuk bersama.
Hari berlalu dari momen perkenalan awal tersebut.
Namun kekasihku itu semakin hari mulai beranjak dingin kepadaku. Aku dapat
merasakan perubahan itu dari tatapan mata yang tertuju untukku, dari cara ia
merangkai kata untukku, juga sikapnya yang mulai tak acuh padaku. Hatiku
berbisik dan bertanya pada diriku, “Apa
salahku? Apa ia telah berpaling dan memiliki lajur mimpi lain?”. Aku
menyepak pikiran itu jauh agar tak kembali menghantuiku. Namun cerita sumbang
mulai terdengar, banyak berita tentangnya, ia pergi berdua dengan laki-laki
lain, dan lain sebagainya. Aku mulai merangkul ketakutanku lagi, aku mulai
menjadi detektif untuk ini, dan benar saja, aku menemukan realita dari suara
sumbang tentang wanita dambaanku.
Ketakutanku tumbuh, seakan aku akan benar-benar
kehilangannya, seakan aku tak akan bisa rasakan lagi hadirnya untukku. Aku
terpuruk dalam sempitnya pemikiranku, membuat logikaku mati dan tak dapat
berfikir jauh untuk hal ini. Dan di masa seperti ini, aku memilih untuk tidak
menghubunginya terlebih dahulu. Dan disisi lain, usahaku untuknya NOL, karena
secara tiba-tiba aku berubah menjadi orang tolol yang tidak tau harus berbuat
apa untuk menyikapi segala perubahannya. Lalu aku berdiam diri, menunggu sebuah
keajaiban datang dan mengembalikan semuanya seperti sedia kala.
Dua minggu berlalu, aku mulai bangun dari diamku.
Hatiku mulai memberontak, lalu memilih untuk menemuinya untuk sebuah kepastian.
Saat kami bertemu, suasana menjadi tegang sekali. Bahkan aku mulai tidak
menemukan jiwanya yang dulu, juga pikiran tenangnya saat menghadapi amarahku. Bibirnya
mulai berucap, “kita tidak berjodoh Dika…!”.
Aku kaget mendengar kata-katanya, lalu bertanya panjang lebar tentang alasan
dari perkataannya. Dan ia hanya menjawab singkat, “Ayahku tidak setuju dengan hubungan kita, dia punya pilihan lain”.
Wanita itu menangis, lalu memelukku dengan erat. Aku mendekapnya, seolah ini
adalah pelukan terakhir dan tak akan kurasakan lagi nanti. Lalu ia
melepaskanku, “Aku belajar mencintai
laki-laki pilihan Ayah. Cerita kita sudah usai Dika, kamu bisa berpetualang
lagi, tanpa aku!”. Wanita itu menangis seraya berlari ke dalam rumah
kostnya. Teriakanku ketika memanggil namanya tak ia gubris sama sekali. Lalu
aku pulang dengan cerita usangku, dan mencoba bertahan untuk sebuah perasaan
yang sudah menjadi abu.
Aku bertahan dalam sebuah rasa kecewa, lalu
memutuskan untuk tidak menyapanya sama sekali. Rasa kecewaku begitu kuat
terhadap wanita ini, dan mungkin sikapku untuk menjauh adalah benar agar wanita
itu benar-benar fokus dan bisa melupakanku. Entah mengapa, aku tidak berjuang
sama sekali untuknya, bukan karena cinta yang padam, bukan pula karena aku
kalah. Mungkin karena aku tak ingin membawanya ke liang hitam, lalu disini aku
hanya diam menunggu takdir berubah, lalu kemenangan akan menjadi milikku.
Sebuah kabar baru tentang wanita itu berhembus
sampai ke telingaku. Entah, aku harus tersenyum bahagia atau harus bersedih.
Hubungan mereka yang baru sekitar 5 bulan akan naik ke pelaminan. Aku tegar,
aku kuat, dan aku berkata pada pikiranku, “aku
telah beranjak darinya”. Sembari kata itu terucap, air mataku mulai
berlinang dan berjatuhan. Hal itu menyadarkanku dari sebuah kemunafikanku
selama ini, lalu dengan jujur aku berucap, “Secuil
harapan itu masih tersimpan, bayangan mimpi itu masih kudambakan, aku
mencintaimu Nissa, kembalilah untukku…!”. Aku terduduk lesu, lalu berbaring
sembari terisak-isak, lalu tertidur dengan kesedihan dan penyesalanku.
Sebelum hari itu tiba, aku sempat bertemu dengan
wanita pujaanku tersebut. Aku mulai menanyakan tentang kebenaran rencana
pernikahannya. Dan dia mengiyakan hal itu, mendengar hal itu aku bergegas pergi
darinya, namun ia menarik tanganku, agar aku tak segera beranjak darinya. Kami
diam membisu dan saling bertatap muka selama beberapa detik, lalu bibirnya
mulai bergerak seakan ingin berucap tentang sebuah rahasia besarnya. “kenapa kamu menghilang?”. Lalu kujawab, “Aku tidak ingin membuatmu menjadi anak durhaka yang menentang keinginan
orang tuamu”. Ia diam, lalu kembali melontarkan sebuah pertanyaan, “kenapa tidak berjuang dan membuktikan kepada
orang tuaku, bahwa kamu pantas untukku?”. Aku tak punya jawaban untuk
pertanyaan ini, aku diam seribu bahasa, menahan diri agar tak membawanya
kembali mendalami cerita lama. Lalu wanita yang bernama Nissa itu kembali
melanjutkan kata-katanya, “Aku cinta kamu,
Dika. Aku ingin diperjuangin oleh kamu, seharusnya kamu bertindak, bukan
menunggu keajaiban datang dengan sendirinya!”. Aku tersentak mendengar kata
itu, terasa panas dan dingin beradu kala ia memeluk erat tubuhku. Aku menikmati
suasana ini sesaat, aku menikmati nostalgia ini bersamanya sebelum ia terbang
lebih jauh lagi.
Aku dibuatnya terbang, seakan-akan melayang
bersamanya, dan tak terasa tanganku ikut mendekapnya dengan erat. Air mataku
mengucur untuknya. Penyesalanku muncul dan mulai tumbuh. Tak seharusnya aku
diam di masa itu, tak seharusnya aku kecewa ketika ia menjauhiku, hal yang
seharusnya kulakukan adalah berjuang, membuktikan bahwa aku pantas untuknya.
Namun apa daya, hari ini segala usahaku sudah tiada guna, dengan cara apapun
aku menunjukkannya, setulus apapun dan sejujur apapun itu, serta sekalipun aku
menunjukkan segala kebaikanku, kelebihanku, atau apapun itu, semuanya terlanjur
melayang, dan aku tak akan memilikinya dengan suasana yang sama seperti dahulu.
Aku bangun dari nostalgiaku, lalu berkata padanya, “Semua sudah terlambat, Nissa. Takdir sudah tertulis untuk jalan dan
alur yang berbeda untuk kita”. Wanita itu melepaskan pelukannya, dan secara
tiba-tiba ia berteriak, “Tidak!! Aku
tidak mencintainya Dika. Selamatkan aku!!”. Mendengar jawaban itu, aku
merasa berdosa sekali karena kali ini aku benar-benar menjadi seorang perusak
hubungan orang. Aku berjalan mundur, mencoba menjauhinya secara perlahan. Lalu
aku berlari dan berlalu dari hadapannya. Teriakannya melengking memanggilku, namun
kali ini aku tak menggubrisnya sama sekali. Aku harus tampak seakan berhenti
peduli dengannya, meskipun aku harus kembali berbohong dengan perasaanku.
Hari itu berlalu, dan malam ini bersama desir angin
yang menyelimutiku. Mencoba mengunci pikiranku bersama malam, bersama pigura
kenangan. Aku hanya menikmati sesal kali ini, juga sekaligus meratapi semuanya.
Kurasa sayang dan cinta pun tidak akan cukup untuk bersatu, faktor yang paling
utama adalah apakah nama dua sejoli itu tertulis dalam buku takdir jodoh dari
karya Tuhan? Jika tidak, garis yang tadinya lurus dapat melenceng secara
tiba-tiba dan mencabangkan diri menjadi dua garis, lalu melaju dengan alur
masing-masing. Aku mencoba tenang, juga melapangkan dada untuk esok hari. Dan
kuyakinkan otak dan hatiku bahwa aku mampu beranjak dari wanita istimewa itu,
lalu memantabkan niat untuk menghadiri undangan darinya.
Acara besar itu tiba. Aku datang dengan senyum
pemaksaanku, lalu menyalami mereka berdua. Ada rasa iri, bahkan aku sempat
berfikir, “seharusnya aku yang duduk
disana, bersama wanita itu”. Namun aku segera menyepak pikiran kotorku
tersebut. Lalu menikmati pesta ini seperti teman-temanku yang lainnya. Aku
menghibur diriku, aku menyibukkan aktifitasku di tempat ini agar tak terfokus
dengannya. Acara pun rampung, sebelum pulang, aku bersalaman dengan kedua
mempelai. Hatiku bergumam, “Kamu masih
yang terindah untukku Nis. Meski kamu tak mencintainya, tetaplah berbakti kepada
Imam-mu!”. Aku lalu meninggalkannya, pergi dengan serpihan hati yang telah
terpotong-potong kecil. Namun disisi lain aku bahagia, setidaknya aku tau bahwa
ia benar-benar wanita yang baik dan berbakti kepada orang tuanya. Langkahku
semakin menjauh darinya, menjauh dari istana mereka. Setelah itu aku tak lagi berjumpa dengannya,
sampai saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar