Selasa, 11 November 2014

Bertemu Untuk Melupakan

Beranjak dari pertemuanku dengannya di waktu itu, aku merayakan titik akhir perjuanganku, tertawa dengan segala sesalku, juga tersenyum dengan hampa alur pilihanku. Aku memandang barisan kata yang tertulis dalam lembaran yang kini terbakar, melihatnya seolah sebuah penyesalan. Aku memetik hasil dari cerita yang kurangkai setiap harinya, menikmati klimaks dari alur cerita yang kutulis dengan pena sandiwara. Aku terdiam, terdekap dalam selimut sunyi kamarku. Aku bernostalgia, aku merangkul erat bayangan serta senyuman yang kini menyiksa batinku. Mungkin aku hanya belum bisa menerima sebuah kenyataan,  mungkin juga karena aku masih memiliki mimpi untuknya. Barisan memori mengitari otakku, pigura serta gambar masa silam mengunci akal pikiranku agar selalu tertumpu padanya, agar bergeming dan selalu bergeming pada cerita nostalgia yang sama. Kupegang erat kepalaku, sekuat energiku berusaha melepaskan beban berat itu, aku mencoba untuk tidak letih, lalu berkata pada pikiran dan hatiku, aku tegar dan aku akan kuat meski hanya bersama malam. Aku persiapkan mentalku, aku persiapkan hatiku, dan esok aku akan datang untuk mereka, karena aku hebat dan mampu terbang dari barisan kenangan.

Beberapa bulan lalu aku masih mendekap cinta kasih itu, serta raganya masih menemani langkah dan menemani pikiranku setiap detiknya. Rasanya penuh untukku, cintanya tertuju dengan sekuat energi, dan wanita itu tangguh untuk menghadapi hal labil dari bodohnya pemikiran serta sikap dinginku. Kebahagiaan terasa utuh ketika aku disisinya, ketika ia begitu hebat dalam meredam amarahku, begitu cerdik memotong nafsu gilaku. Wanita seperti inilah yang mungkin akan menuntunku, dan seperti dialah yang akan menarikku menuju sisi jalur yang benar.

BuncAzca @ Baron Beach Yk


Sisi lain dari gambaran ceria tentang aku dan wanita itu terdapat hal bodoh yang membuatku terperosok dalam jurang penyesalan. Aku mulai bermain dengan hal yang buas, aku menguji hal yang sudah pasti dan tak perlu di tes kembali. Aku mencoba menyakitinya sedikit, lalu melihat kesabarannya dalam menghadapi perubahanku. Aku menyayatnya lagi dengan aku yang berjiwa baru, dengan pemikiranku yang semaking menggila, dan disaat itu, ia masih bertahan dan mampu berkata padaku “perubahan itu tidak menggoyahkanku, dan hatiku tidak berpaling darimu”. Aku cukup puas dengan apa yang kuperoleh dari pengujianku padanya. Aku diam, aku tenang, dan aku semakin mencintainya.


Bulan berganti, dan kami sudah merencanakan satu hari dimana kami akan saling mengenal lebih jauh. Wanita itu berencana memperkenalkanku kepada Ayah dan Ibu serta kepada keluarganya. Siap atau tidak, aku akan menghadapi hal ini. Dan motivasiku adalah menjadi imam untuknya di suatu hari yang indah nanti. Perkenalan itu cukup harmonis, tidak ada tanggapan negatif atau suara sumbang yang tertuju untuk hubungan kami. Aku cukup lega dan berfikir bahwa cerita cinta ini akan lancar, dan rintangan akan menjauh karena kami memang di takdirkan untuk bersama.

Hari berlalu dari momen perkenalan awal tersebut. Namun kekasihku itu semakin hari mulai beranjak dingin kepadaku. Aku dapat merasakan perubahan itu dari tatapan mata yang tertuju untukku, dari cara ia merangkai kata untukku, juga sikapnya yang mulai tak acuh padaku. Hatiku berbisik dan bertanya pada diriku, “Apa salahku? Apa ia telah berpaling dan memiliki lajur mimpi lain?”. Aku menyepak pikiran itu jauh agar tak kembali menghantuiku. Namun cerita sumbang mulai terdengar, banyak berita tentangnya, ia pergi berdua dengan laki-laki lain, dan lain sebagainya. Aku mulai merangkul ketakutanku lagi, aku mulai menjadi detektif untuk ini, dan benar saja, aku menemukan realita dari suara sumbang tentang wanita dambaanku.

Ketakutanku tumbuh, seakan aku akan benar-benar kehilangannya, seakan aku tak akan bisa rasakan lagi hadirnya untukku. Aku terpuruk dalam sempitnya pemikiranku, membuat logikaku mati dan tak dapat berfikir jauh untuk hal ini. Dan di masa seperti ini, aku memilih untuk tidak menghubunginya terlebih dahulu. Dan disisi lain, usahaku untuknya NOL, karena secara tiba-tiba aku berubah menjadi orang tolol yang tidak tau harus berbuat apa untuk menyikapi segala perubahannya. Lalu aku berdiam diri, menunggu sebuah keajaiban datang dan mengembalikan semuanya seperti sedia kala.

Dua minggu berlalu, aku mulai bangun dari diamku. Hatiku mulai memberontak, lalu memilih untuk menemuinya untuk sebuah kepastian. Saat kami bertemu, suasana menjadi tegang sekali. Bahkan aku mulai tidak menemukan jiwanya yang dulu, juga pikiran tenangnya saat menghadapi amarahku. Bibirnya mulai berucap, “kita tidak berjodoh Dika…!”. Aku kaget mendengar kata-katanya, lalu bertanya panjang lebar tentang alasan dari perkataannya. Dan ia hanya menjawab singkat, “Ayahku tidak setuju dengan hubungan kita, dia punya pilihan lain”. Wanita itu menangis, lalu memelukku dengan erat. Aku mendekapnya, seolah ini adalah pelukan terakhir dan tak akan kurasakan lagi nanti. Lalu ia melepaskanku, “Aku belajar mencintai laki-laki pilihan Ayah. Cerita kita sudah usai Dika, kamu bisa berpetualang lagi, tanpa aku!”. Wanita itu menangis seraya berlari ke dalam rumah kostnya. Teriakanku ketika memanggil namanya tak ia gubris sama sekali. Lalu aku pulang dengan cerita usangku, dan mencoba bertahan untuk sebuah perasaan yang sudah menjadi abu.

Aku bertahan dalam sebuah rasa kecewa, lalu memutuskan untuk tidak menyapanya sama sekali. Rasa kecewaku begitu kuat terhadap wanita ini, dan mungkin sikapku untuk menjauh adalah benar agar wanita itu benar-benar fokus dan bisa melupakanku. Entah mengapa, aku tidak berjuang sama sekali untuknya, bukan karena cinta yang padam, bukan pula karena aku kalah. Mungkin karena aku tak ingin membawanya ke liang hitam, lalu disini aku hanya diam menunggu takdir berubah, lalu kemenangan akan menjadi milikku.

Sebuah kabar baru tentang wanita itu berhembus sampai ke telingaku. Entah, aku harus tersenyum bahagia atau harus bersedih. Hubungan mereka yang baru sekitar 5 bulan akan naik ke pelaminan. Aku tegar, aku kuat, dan aku berkata pada pikiranku, “aku telah beranjak darinya”. Sembari kata itu terucap, air mataku mulai berlinang dan berjatuhan. Hal itu menyadarkanku dari sebuah kemunafikanku selama ini, lalu dengan jujur aku berucap, “Secuil harapan itu masih tersimpan, bayangan mimpi itu masih kudambakan, aku mencintaimu Nissa, kembalilah untukku…!”. Aku terduduk lesu, lalu berbaring sembari terisak-isak, lalu tertidur dengan kesedihan dan penyesalanku.

Sebelum hari itu tiba, aku sempat bertemu dengan wanita pujaanku tersebut. Aku mulai menanyakan tentang kebenaran rencana pernikahannya. Dan dia mengiyakan hal itu, mendengar hal itu aku bergegas pergi darinya, namun ia menarik tanganku, agar aku tak segera beranjak darinya. Kami diam membisu dan saling bertatap muka selama beberapa detik, lalu bibirnya mulai bergerak seakan ingin berucap tentang sebuah rahasia besarnya. “kenapa kamu menghilang?”. Lalu kujawab, “Aku tidak ingin membuatmu menjadi anak durhaka yang menentang keinginan orang tuamu”. Ia diam, lalu kembali melontarkan sebuah pertanyaan, “kenapa tidak berjuang dan membuktikan kepada orang tuaku, bahwa kamu pantas untukku?”. Aku tak punya jawaban untuk pertanyaan ini, aku diam seribu bahasa, menahan diri agar tak membawanya kembali mendalami cerita lama. Lalu wanita yang bernama Nissa itu kembali melanjutkan kata-katanya, “Aku cinta kamu, Dika. Aku ingin diperjuangin oleh kamu, seharusnya kamu bertindak, bukan menunggu keajaiban datang dengan sendirinya!”. Aku tersentak mendengar kata itu, terasa panas dan dingin beradu kala ia memeluk erat tubuhku. Aku menikmati suasana ini sesaat, aku menikmati nostalgia ini bersamanya sebelum ia terbang lebih jauh lagi.

Aku dibuatnya terbang, seakan-akan melayang bersamanya, dan tak terasa tanganku ikut mendekapnya dengan erat. Air mataku mengucur untuknya. Penyesalanku muncul dan mulai tumbuh. Tak seharusnya aku diam di masa itu, tak seharusnya aku kecewa ketika ia menjauhiku, hal yang seharusnya kulakukan adalah berjuang, membuktikan bahwa aku pantas untuknya. Namun apa daya, hari ini segala usahaku sudah tiada guna, dengan cara apapun aku menunjukkannya, setulus apapun dan sejujur apapun itu, serta sekalipun aku menunjukkan segala kebaikanku, kelebihanku, atau apapun itu, semuanya terlanjur melayang, dan aku tak akan memilikinya dengan suasana yang sama seperti dahulu. Aku bangun dari nostalgiaku, lalu berkata padanya, “Semua sudah terlambat, Nissa. Takdir sudah tertulis untuk jalan dan alur yang berbeda untuk kita”. Wanita itu melepaskan pelukannya, dan secara tiba-tiba ia berteriak, “Tidak!! Aku tidak mencintainya Dika. Selamatkan aku!!”. Mendengar jawaban itu, aku merasa berdosa sekali karena kali ini aku benar-benar menjadi seorang perusak hubungan orang. Aku berjalan mundur, mencoba menjauhinya secara perlahan. Lalu aku berlari dan berlalu dari hadapannya. Teriakannya melengking memanggilku, namun kali ini aku tak menggubrisnya sama sekali. Aku harus tampak seakan berhenti peduli dengannya, meskipun aku harus kembali berbohong dengan perasaanku.

Hari itu berlalu, dan malam ini bersama desir angin yang menyelimutiku. Mencoba mengunci pikiranku bersama malam, bersama pigura kenangan. Aku hanya menikmati sesal kali ini, juga sekaligus meratapi semuanya. Kurasa sayang dan cinta pun tidak akan cukup untuk bersatu, faktor yang paling utama adalah apakah nama dua sejoli itu tertulis dalam buku takdir jodoh dari karya Tuhan? Jika tidak, garis yang tadinya lurus dapat melenceng secara tiba-tiba dan mencabangkan diri menjadi dua garis, lalu melaju dengan alur masing-masing. Aku mencoba tenang, juga melapangkan dada untuk esok hari. Dan kuyakinkan otak dan hatiku bahwa aku mampu beranjak dari wanita istimewa itu, lalu memantabkan niat untuk menghadiri undangan darinya.

Acara besar itu tiba. Aku datang dengan senyum pemaksaanku, lalu menyalami mereka berdua. Ada rasa iri, bahkan aku sempat berfikir, “seharusnya aku yang duduk disana, bersama wanita itu”. Namun aku segera menyepak pikiran kotorku tersebut. Lalu menikmati pesta ini seperti teman-temanku yang lainnya. Aku menghibur diriku, aku menyibukkan aktifitasku di tempat ini agar tak terfokus dengannya. Acara pun rampung, sebelum pulang, aku bersalaman dengan kedua mempelai. Hatiku bergumam, “Kamu masih yang terindah untukku Nis. Meski kamu tak mencintainya, tetaplah berbakti kepada Imam-mu!”. Aku lalu meninggalkannya, pergi dengan serpihan hati yang telah terpotong-potong kecil. Namun disisi lain aku bahagia, setidaknya aku tau bahwa ia benar-benar wanita yang baik dan berbakti kepada orang tuanya. Langkahku semakin menjauh darinya, menjauh dari istana mereka.  Setelah itu aku tak lagi berjumpa dengannya, sampai saat ini.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar