Rabu, 21 Januari 2015

Bungaku Sayang, Bermimpilah!


Bungaku takkan layu, karena sepenuh hati ku-bersimpuh untuk menatanya. Hanya ini yang mampu kupersembahkan dalam ranjang abadimu. Segala tawamu serta barisan kenangan masih tertata rapi di dalam perpustakaan otakku. Menghirup wangiannya, lalu kuserahkan segala cintaku yang melebur, lalu berpesan dengan khidmat, “Jagakan ia dalam tidur abadinya, Tuhan

Usai dari ranjang abadinya, aku berjalan pulang, berjalan sembari menata hatiku dan mencoba menyapu semua lembaran daftar mimpi yang telah terbakar habis. Kali ini aku belajar menjadi orang yang paling tangguh di dunia, terlebih ketika aku melihat sendiri kekasihku terbaring lemah tak berdaya, lalu raganya tertimpa tanah bumi ini, hingga semua tertutup rapi dan diatasnya tertaburi bunga mawar merah dan putih serta dikucuri air kelapa. Aku memanggilmu Tuhan, “mengapa tak peringatkan aku untuk lebih peduli?”. Aku berhenti dari langkahku, lalu terduduk dan menangis lepas. Lalu beberapa temanku datang kepadaku, mencoba membuatku tenang dan ikhlas dengan segala kenyataan. Aku bangun, lalu seakan seperti kuat kembali, namun ketika sampai di rumah, aku kembali tumbang ketika merasakan suasana yang berbeda. Aku terkapar, lalu menangis kembali dengan tersedu, hingga akhirnya aku terjaga bersama mimpi.

Ia menghampiriku dalam mimpi, lalu mengibaskan rambutnya di hadapanku, membelai tanganku dengan lembut sembari berkata, “Aku sayang kamu, Dika. Maaf jika aku terlebih dahulu terbang. Kamu akan bahagia meski tanpa aku”. Seolah aku tak mampu berucap apapun, bahkan bergerak pun tak mampu. Ia tersenyum manis kepadaku, lalu sinar putih menjemputnya, membawa ia berlalu dan hilang dari hadapanku. Aku tersentak lalu bangun dari lelap tidurku, lalu memanggil-manggil namanya. Mimpiku terasa nyata, seolah sebuah pesan untukku agar aku mampu bangkit dari sebuah keterpurukan sedihku. Aku melangkah menuju jendela kamar, melihat senja yang tak seperti biasanya, merasakan semilir angin yang tak seperti sedia kala. Ada yang hilang, ada yang musnah dari penglihatanku. Lalu mengambil sebuah foto dari dompetku, lalu berkata, “Yang aku maksud adalah kamu, kamu yang telah menghadap-Nya terlebih dahulu. Aku rindu hadirmu sayang..

BuncAzca @ Kukup Beach Yk

Malam mewarnai langit senja menjadi hitam pekat. Aku berjalan dari kamarku, mencari desir angin yang akan menyapaku lalu menenangkanku dari segala pedihku, membuatku ikhlas dan merelakan segalanya. Lajurku tak beraturan, teramat sering aku berhenti untuk sejenak menghela nafas, mengusap air mataku serta menguatkan hatiku. Lalu terduduk di tepi jalan sembari melihat bintang yang bertabur indah. Hal itu mengembalikan memori tentangnya, dimana dahulu ia pernah berbaring di sebuah kursi taman dan bersenandung tentang nyanyian bintang bersama-sama. Dalam tangisku, aku bergumam menadakan lagu yang biasa kami nyanyikan bersama. Namun hal itu tak membuatku lebih baik, aku bergegas berlalu dari tempat ini.

Aku masih berjalan dengan rapuhku. Lalu menuju sebuah taman bunga, tempat dimana aku dan dia sering bercanda ria sejak masih sekolah dasar. Seolah aku menemui bayangannya di tempat ini, lalu pikiranku mengajakku bernostalgia dengan segala tentangnya. Aku duduk di kursi ini, melihat sisi kiriku, ada ayunan yang amat sering kami gunakan bermain di masa kecil. Aku merasa seolah tawa itu masih ada dan suara lembutnya memanggilku lagi. Aku tampak seperti gila di tempat ini. Aku menoleh ke kanan, melihat pohon bunga mawar putih, bunga favorit kekasihku. Aku melangkah menuju pohon itu, lalu memetik dua tangkai bunga mawar putih itu. Aku mencium wanginya, lalu berkata, “Ini bunga kesukaanmu, Rere! Aku memetiknya sendiri untukmu”.

Selepas itu aku kembali pulang, membawa bunga itu sebagai pengingat sagala tentangnya. Sesampainya di rumah, aku menulis rangkaian kata yang tertuju untuknya dalam sebuah lembaran kertas warna kuning. Lalu kubingkaikan bunga itu disisi bawah tulisan itu. Aku tersenyum melihat rangkaian kata yang telah kutulis. Lalu aku memejamkan mataku agar terjaga bersama sunyinya malam. Keesokan hari aku menuju ranjang abadi kekasihku sembari membawa tulisan dan bunga yang kupetik tadi malam, lalu aku menaruhnya depan nisan sembari berkata “Aku akan baik-baik saja di dunia ini. Aku telah mengikhlaskanmu Rere, maka terlelaplah dalam tidurmu, Dan  Tuhan akan menjagamu dalam keabadian. Tersenyumlah di Surga, karena aku disini juga tersenyum untukmu. Aku sayang kamu, Rere”. Selepas itu aku berjalan menjauh dari ranjang keabadian itu, dan kali ini hatiku sedikit lebih lega, dan aku menjadi sedikit lebih kuat dan yakin bahwa aku mampu beranjak dari kepedihanku dan memperoleh jalan cerita baru, tanpa Rere.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar