Bungaku takkan layu,
karena sepenuh hati ku-bersimpuh untuk menatanya. Hanya ini yang mampu
kupersembahkan dalam ranjang abadimu. Segala tawamu serta barisan kenangan
masih tertata rapi di dalam perpustakaan otakku. Menghirup wangiannya, lalu
kuserahkan segala cintaku yang melebur, lalu berpesan dengan khidmat, “Jagakan ia dalam tidur abadinya, Tuhan”
Usai dari ranjang abadinya, aku berjalan pulang,
berjalan sembari menata hatiku dan mencoba menyapu semua lembaran daftar mimpi
yang telah terbakar habis. Kali ini aku belajar menjadi orang yang paling
tangguh di dunia, terlebih ketika aku melihat sendiri kekasihku terbaring lemah
tak berdaya, lalu raganya tertimpa tanah bumi ini, hingga semua tertutup rapi
dan diatasnya tertaburi bunga mawar merah dan putih serta dikucuri air kelapa.
Aku memanggilmu Tuhan, “mengapa tak
peringatkan aku untuk lebih peduli?”. Aku berhenti dari langkahku, lalu
terduduk dan menangis lepas. Lalu beberapa temanku datang kepadaku, mencoba
membuatku tenang dan ikhlas dengan segala kenyataan. Aku bangun, lalu seakan
seperti kuat kembali, namun ketika sampai di rumah, aku kembali tumbang ketika
merasakan suasana yang berbeda. Aku terkapar, lalu menangis kembali dengan
tersedu, hingga akhirnya aku terjaga bersama mimpi.
Ia menghampiriku dalam mimpi, lalu mengibaskan
rambutnya di hadapanku, membelai tanganku dengan lembut sembari berkata, “Aku sayang kamu, Dika. Maaf jika aku
terlebih dahulu terbang. Kamu akan bahagia meski tanpa aku”. Seolah aku tak
mampu berucap apapun, bahkan bergerak pun tak mampu. Ia tersenyum manis
kepadaku, lalu sinar putih menjemputnya, membawa ia berlalu dan hilang dari
hadapanku. Aku tersentak lalu bangun dari lelap tidurku, lalu memanggil-manggil
namanya. Mimpiku terasa nyata, seolah sebuah pesan untukku agar aku mampu
bangkit dari sebuah keterpurukan sedihku. Aku melangkah menuju jendela kamar,
melihat senja yang tak seperti biasanya, merasakan semilir angin yang tak
seperti sedia kala. Ada yang hilang, ada yang musnah dari penglihatanku. Lalu
mengambil sebuah foto dari dompetku, lalu berkata, “Yang aku maksud adalah kamu, kamu yang telah menghadap-Nya terlebih
dahulu. Aku rindu hadirmu sayang..”
BuncAzca @ Kukup Beach Yk |
Malam mewarnai langit senja menjadi hitam pekat. Aku
berjalan dari kamarku, mencari desir angin yang akan menyapaku lalu
menenangkanku dari segala pedihku, membuatku ikhlas dan merelakan segalanya.
Lajurku tak beraturan, teramat sering aku berhenti untuk sejenak menghela
nafas, mengusap air mataku serta menguatkan hatiku. Lalu terduduk di tepi jalan
sembari melihat bintang yang bertabur indah. Hal itu mengembalikan memori
tentangnya, dimana dahulu ia pernah berbaring di sebuah kursi taman dan
bersenandung tentang nyanyian bintang bersama-sama. Dalam tangisku, aku
bergumam menadakan lagu yang biasa kami nyanyikan bersama. Namun hal itu tak
membuatku lebih baik, aku bergegas berlalu dari tempat ini.
Aku masih berjalan dengan rapuhku. Lalu menuju
sebuah taman bunga, tempat dimana aku dan dia sering bercanda ria sejak masih
sekolah dasar. Seolah aku menemui bayangannya di tempat ini, lalu pikiranku
mengajakku bernostalgia dengan segala tentangnya. Aku duduk di kursi ini,
melihat sisi kiriku, ada ayunan yang amat sering kami gunakan bermain di masa
kecil. Aku merasa seolah tawa itu masih ada dan suara lembutnya memanggilku
lagi. Aku tampak seperti gila di tempat ini. Aku menoleh ke kanan, melihat
pohon bunga mawar putih, bunga favorit kekasihku. Aku melangkah menuju pohon
itu, lalu memetik dua tangkai bunga mawar putih itu. Aku mencium wanginya, lalu
berkata, “Ini bunga kesukaanmu, Rere! Aku
memetiknya sendiri untukmu”.
Selepas itu aku kembali pulang, membawa bunga itu
sebagai pengingat sagala tentangnya. Sesampainya di rumah, aku menulis
rangkaian kata yang tertuju untuknya dalam sebuah lembaran kertas warna kuning.
Lalu kubingkaikan bunga itu disisi bawah tulisan itu. Aku tersenyum melihat
rangkaian kata yang telah kutulis. Lalu aku memejamkan mataku agar terjaga
bersama sunyinya malam. Keesokan hari aku menuju ranjang abadi kekasihku
sembari membawa tulisan dan bunga yang kupetik tadi malam, lalu aku menaruhnya
depan nisan sembari berkata “Aku akan
baik-baik saja di dunia ini. Aku telah mengikhlaskanmu Rere, maka terlelaplah
dalam tidurmu, Dan Tuhan akan menjagamu
dalam keabadian. Tersenyumlah di Surga, karena aku disini juga tersenyum
untukmu. Aku sayang kamu, Rere”. Selepas itu aku berjalan menjauh dari
ranjang keabadian itu, dan kali ini hatiku sedikit lebih lega, dan aku menjadi
sedikit lebih kuat dan yakin bahwa aku mampu beranjak dari kepedihanku dan
memperoleh jalan cerita baru, tanpa Rere.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar