Sempat terdiam, tertahan disini
Haruskah kumemilih tuk mengakhiri?
Sempat terdiam, tersudut disini
Harus pergi ataukah bertahan lagi?
Malam ini tak
seperti sebelumnya. Ada hal yang tak mampu kuucap untuk mendeklarasikan amarah.
Ada hal yang mengunci dalam pikiran. Namun sepertinya tak selamanya begini. Aku
harus melawannya, menerobos rasa sakit yang mendera, yang selama ini
menganjurkanku untuk bertahan. Ya, sepertinya aku lelah dengan berbagai macam
cerita pilu bersamanya.
Sebelumnya, aku
merasa bahwa hatinya terbelah akan sebuah rasa lain. Hal itu juga berdampingan
dengan perasaan yang tidak lagi menyamankan hati. Kehangatan tak lagi seperti
sebelumnya. Rasa indah tak lagi tercipta dari kisah yang ada. Aku hanya mencoba
tenang, mencoba untuk tidak peka dengan situasi ini. Mencoba mengelak dari
segala gundah yang menghunjam pikiranku.
Selalu mengelak
dari kebenaran, membuatku merasa letih dengan sendirinya. Hal ini semakin
menyiksa. Ketika aku mencoba tidak peka, hal itu malah semakin menguasai
pemikiranku. Aku mulai mencari-cari, tentang kebenaran, tentang apa yang ada di
balik cerita ini. Perasaan kalut mulai mengubahku dari sebelumnya. Sepertinya
segala sesuatu yang kutahan selama ini, membuatku tak mampu mengendalikan
semuanya. Entah, mungkin aku hanya ingin tau, dan setelah tau, entah, apa, yang
harus dan akan kulakukan. Tapi, mungkin, aku tak akan diam kali ini.
BuncAzca @ Sembungan Village |
Mulai berubah, semua tak sama seperti
yang dulu
Mulai tak bersatu dengan jiwa yang ada
disini
Semuanya tak sama, sikap itu mulai
berubah
Kini kau berbeda, tak lagi menjadi
penenang jiwaku
Dan tak lagi ada rasa tulus dari hatimu
Hal itu
terbukti, aku melihatnya beradu romantisme dengan ia yang kubenci. Hal itu
menyiksa, ada rasa yang tak wajar, terdapat cua yang lebih besar dari
sebelum-sebelumnya. Serontak mimpiku terasa terberai menjadi bulir serta
serpihan kecil, merasa ucapan indah sebelumnya hanya sebuah bualan, merasa
lembaran kisah indah sebelumnya terbakar, mencoret segala hal penyemangat yang
pernah menjadi tumpuanku untuk melangkah.
Beranjak dari
hari itu, rasa mulai dingin. Wanita itu sering bertanya kepadaku, “Apa yang terjadi padaku? Mengapa senyummu
tak lagi terbinar untukku? Serta ocehanmu tak lagi bergema untukku?”.
Tentang pertanyaan itu, aku selalu menenangkannya dengan seribu kata penghibur.
Kali ini aku tak berharap banyak, bahkan merasa jamuan di hadapanku menjadi
hambar. Dan sepertinya aku telah berada di garis tepi sabar dan mulai terseret
dalam zona letihku.
Namun disisi
lain, ada hal yang memaksa aku untuk mencoba untuk tidak terseret dalam zona
letihku. Rasa cinta ini mencoba menyeretku dalam zona sabar dan kembali
menjadikan dia tumpuanku untuk bermimpi. Situasi ini menyiksaku, menguasai
pemikiranku untuk selalu berada dalam cerita ini, membuatku berada dalam dilema
antara pergi atau tetap bertahan dalam satu nama.
akankah bertahan?
haruskah kulepas belenggu yang mengikat seluruh
pikiran?
hempaskan semua?
membebaskan jiwa dari dilema dan semua tentang
dirinya?”
Situasi menyiksa
itu membuatku ingin bertemu dengannya, malam ini juga. Sampai akhirnya
pertemuan itu terjadi. Wanita itu berbicara segala yang terjadi ketika di
belakangku. Apa yang kulihat ternyata hanya sebagian kecil dari sebuah
kepalsuan. Ada hal yang tak mampu kuucap untuk mendeklarasikan amarah. Ada hal
yang mengunci dalam pikiran. Namun sepertinya tak selamanya begini. Aku harus
melawannya, menerobos rasa sakit yang mendera, yang selama ini menganjurkanku
untuk bertahan. Ya, sepertinya aku lelah dengan berbagai macam cerita pilu
bersamanya. Ketika aku melayangkan sebuah pilihan untuk memilih aku atau ia
yang kubenci, wanita itu lebih memilihnya, lalu berlalu dariku begitu saja.
Kekecewaan besar, terlebih ketika mendengar ucapnya yang begitu menyayat hati:
Jangan terdiam, segera beranjak!
Diriku kini tak lagi mencintaimu!
Tak usah bertahan, segera lepaskan,
bebaskan dirimu dari kepalsuanku!
Kata itu selalu
menghantuiku. Kata terakhir darinya yang membuat semuanya usai. Dalam hal ini
seharusnya aku yang meluapkan amarah serta menyudahi segalanya, namun
sepertinya cerita ini terbalik. Bukan aku yang berlalu, bukan aku yang
mempertegas kelanjutannya, tapi dia, wanita yang bermain dibelakangku. Detik
ini, pikiranku mengembara tentang banyak hal yang sebenarnya telah terjadi di
belakangku. Dan hal yang membuatku tidak terima sampai detik ini adalah
segalanya didasari oleh sandiwara belaka. Unjung dalam dilema yang berbuah
pedih. Aku mengerti posisiku saat ini. Aku tak pernah benar-benar istimewa di
hatinya, tak pernah sedikitpun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar