Teramat malang bila seseorang memerankan
kehidupannya, terseok-seok selalu hari-harinya karna hanya dapat berpandang
sampai hari esok saja. Itu karma yang terjadi dari kilafnya masa lampau.
Temaramnya datang seiring senja lenyap, ia lukis dengan warna hitam langit itu.
Terlalu terlena dengan tawa kemenangan sesaat, lalu jatuh dalam lubangnya
sendiri. Penyair yang malang dengan masalah mulai datang 3 bulan lalu.
Berbeda bila mendapat peran calon
pemegang pentungan ini. Akan merasa hebat untuk saat ini, karna hatinya berbunga
ketika mendapat panggilan berbentuk sepucuk kertas dalam bungkusan indah. Benar
saja, dia akan segera berangkat menyingkap asanya, mulai menemukan jati diri
yang ia cari, mulai menemukan pesan manis dari semilir angin, atau peluh yang
terjatuh semasa ia berproses.
Lain halnya dengan sang pendiri
istana ini, dia risau mencari kertas hasil pencapaian yang tak kunjung ia
dapat. Mungkin dahulu dia juga terlena seperti penyair itu. Masa fajarnya
terlalu sering berhura dengan nikmatnya surga dunia hingga terlena dengan
kewajiban yang harus dia kerjakan. Namun ia sedikit beruntung karna dia mampu
memilih jalannya sendiri, tak seperti sang penyair bait yang tertahan karna
jalannya ditentukan oleh pembesarnya.
Pertemuan antar ketiga sosok teman
ini menjadi hari yang haru. Di tengah persawahan ditemani semilir angin malam,
mereka mulai berbicara, melantunkan apa yang tersimpan dalam lembutnya kalbu
mereka. Berbagai kenyataan pahit tercurahkan disini, bahkan tentang
persahabatan yang telah 7 tahun terbina ini. Benar saja, mungkin tak lama lagi
mereka akan terpisah jauh karna perbedaan cara meraih mimpi mereka. Bukan akhir
tapi permulaan dari sesuatu yang sudah dimulai, menemukan jati diri
masing-masing dengan alur yang diciptakan sendiri.
Alunan merdu suara anak manusia yang
melantunkan keluh kesah dunia, terus berpadu hingga lonceng berbunyi. Waktu
akan memisahkan mereka, seperti percakapan yang harus usai kali ini.
Berdekapan, Sehangat api unggun, pelukan itu semakin haru, disaat air mata
mereka berpadu dan berlomba menuju bawah. Dengan janji mereka yang dilantunkan
penuh penghayatan. Sang pendiri Istana angkat bicara, “Ini bukan kematian yang
harus kita tangisi kawan. Sebuah perpisahan untuk jenjang yang lebih tinggi,
namun bukan perpisahan abadi. Kelak kita kan tertawa lagi seperti hari ini.”
Semua terdiam dan melihat sang pendiri istana. Lalu sang Penyair mulai berucap
kata, “tali ini kan selalu ada, meski tak tersentuhkan raga ataupun berjumpa
tatap muka. Senandungku akan selalu bergema, tawa kita akan terngiang di
memori. Dan tangisan ini pacuan kita, kita akan berjumpa lagi dalam masa yang
lebih baik.” Calon pemegang pentungan pun angkat bicara, “Benar kawan, 10 tahun
lagi akan menjadi hari indah kita, dan kita harus berjanji kan berjumpa di
gubug kenangan ini. Kenanglah hari ini kawan. Simpan dengan balutan terindah
untuk kau taruh di loker memorimu.”
Selepas malam haru itu, mereka
berpisah dan mulai melangkah menuju mimpi masing-masing. Mulai berpacu dengan
pola masing-masing. Terlihat pancaran semangat dari wajahnya, terbungkam mulut
untuk merintih terlebih juga berdesah, mulai tak peduli dengan mulut-mulut
orang yang mencoba menyilak buruknya. Kaki itu semakin tak ragu mencari rata
kehidupan, mencari keindahan alur meski kadang tersandung. Mereka mengobarkan
semangat juang, pantang menyerah, keindahan tak semu yang akan mereka dapat di
masa nanti.
Kini calon pemegang pentungan telah
berubah menjadi pemegang pentungan secara resmi. Dengan gagahnya ia berjalan
kesana-kemari dan setiap mata menghormatinya. Kebahagiaan mulai datang, begitu
juga dengan cinta yang mulai dia dapatkan setelah 2 tahun memeras keringat. Di tahun
ke 3, dia mulai membentuk hidup baru. Benar saja, dia tak lagi sendiri kali
ini, dia telah berdiri di atas pelaminan bersama bidadarinya, yang di saksikan
para petinggi-petinggi dan keluarga serta temannya untuk mengucap janji suci.
Sang penyair pun hadir sendiri untuk memberi ucapan selamat. Menjadi reuni
sesaat, meski mereka hanya sejenak bertemu bahkan hanya berjabat tangan dan
menyapa senyum dan beberapa untaian kata ucapan.
Sang pendiri Istana masih
berkecimpung di dunia yang sama, sampai tahun ke 2. Dan di tahun ke 3, tepatnya
3 bulan sebelum pernikahan pemegang pentungan, dia berangkat ke negeri
seberang. Dia memilih menjadi pahlawan untuk negeri ini, pahlawan devisa. Kala
itu umurnya 23 tahun, sedang semangat-semangatnya untuk menggapai asa setelah
penantiannya dan ia dapatkan sepucuk kertas itu. Dan 5 tahun kemudian dia
kembali, tepatnya di tahun ke 8 sejak
malam itu, dia ditemani seorang wanita dari negeri tempat ia mencari mimpi.
Benar saja, dia menikah di umur 28, berbeda dengan sang pemegang pentungan yang
telah naik ke pelaminan di umur 22 dan kini telah memiliki satu buah hati.
Namun kali ini sang penyair tak datang di pelaminannya. Bahkan tak ada kabar,
mengapa ia tak datang kali ini.
Ternyata sang penyair memilih untuk
menimba pengetahuaan di sebuah gedung informatika di kota pelajar. Dia sempat
meneruskan hobinya dengan menjadi penyair selama 3 tahun, tapi setelah
predikatnya dia dapat, dia berpindah ke metropolitan dan mengubah pola
kebiasaannya. Benar saja, predikat yang didapat melalui proses yang tak mudah,
dia harus banting tulang untuk membiayai proses itu, meski ia dibantu keluarga
yang sangat menyanyanginya, dia tak mau sepenuhnya merepotkan. Di tahun ke 7,
saat berumur 25 tahun, ia kembali ke tempat kelahirannya, dengan membawa
seorang gadis yang ia cintai. Lalu kembali ke metropolitan. Dan ketika tahun ke
9 dia meminang cintanya, dia mengundang pemegan pentungan dan pembuat istana,
namun karna kota cukup jauh, mereka berdua tak dapat hadir dalam upacara sakral
kali ini.
Tahun yang dinantikan datang, mereka
mulai menentukan hari dan bersiap untuk reuni kali ini. Akhirnya hari itu tiba,
dan mereka berjumpa, tatap muka, dalam ruang yang sedikit berubah letak
geografisnya. Amat sangat tampak berbeda kali ini, semua tampak dewasa. Bahkan
sang penyair yang dulu paling kecil tubuhnya juga paling muda, dia pun juga
berubah dewasa. Di awal pertemuan ini tak ada air mata, dan hanya bertanya
tentang mimpi yang pernah dikatakan dahulu, bercerita tentang kehidupan saat
ini, tentang cita-cita, keluarga dan buah hati mereka. Kebahagiaan amat terasa
meski saling gengsi untuk berpelukan seperti sepuluh tahun yang lalu, dan kali
ini perjuangan telah terpenuhi, dari tawa bahagia mereka, semuanya
terpancar.Setelah cukup lama berbicara, tiba-tiba mereka saling berdiam,
bertatap muka, bungkam seribu bahasa. Sampai akhirnya senyum disertai air mata
terlihat dari sang pendiri Istana yang tadinya terlihat ceria. Dia mulai
merangkul para sahabatnya dan berkata, “Aku rindu kalian kawan”. Mereka pun
saling berpelukan bahagia, membuang rasa gengsi dan canggung dalam diri. “Aku
ingat betul persahabatan ini kawan, ini mimpi kita.” Sahut pemegang pentungan.
Hari ini menjadi tawa indah dan bahagia Tiga sahabat masa Menegah Pertama. DAA
yang masih bergema setelah 10 tahun tak bersama.
(Kisah nyata yang diberi sentuhan
khayalan) | JANUARI 2014
Andika Dwi Yulianto (Penyair)
Dwi Santosa (Pendiri Istana)
Agung Cahyono (Pemegang Pentungan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar