Rabu, 12 Februari 2014

Tiga Sahabat


              Teramat malang bila seseorang memerankan kehidupannya, terseok-seok selalu hari-harinya karna hanya dapat berpandang sampai hari esok saja. Itu karma yang terjadi dari kilafnya masa lampau. Temaramnya datang seiring senja lenyap, ia lukis dengan warna hitam langit itu. Terlalu terlena dengan tawa kemenangan sesaat, lalu jatuh dalam lubangnya sendiri. Penyair yang malang dengan masalah mulai datang 3 bulan lalu.
           Berbeda bila mendapat peran calon pemegang pentungan ini. Akan merasa hebat untuk saat ini, karna hatinya berbunga ketika mendapat panggilan berbentuk sepucuk kertas dalam bungkusan indah. Benar saja, dia akan segera berangkat menyingkap asanya, mulai menemukan jati diri yang ia cari, mulai menemukan pesan manis dari semilir angin, atau peluh yang terjatuh semasa ia berproses.
           Lain halnya dengan sang pendiri istana ini, dia risau mencari kertas hasil pencapaian yang tak kunjung ia dapat. Mungkin dahulu dia juga terlena seperti penyair itu. Masa fajarnya terlalu sering berhura dengan nikmatnya surga dunia hingga terlena dengan kewajiban yang harus dia kerjakan. Namun ia sedikit beruntung karna dia mampu memilih jalannya sendiri, tak seperti sang penyair bait yang tertahan karna jalannya ditentukan oleh pembesarnya.
           Pertemuan antar ketiga sosok teman ini menjadi hari yang haru. Di tengah persawahan ditemani semilir angin malam, mereka mulai berbicara, melantunkan apa yang tersimpan dalam lembutnya kalbu mereka. Berbagai kenyataan pahit tercurahkan disini, bahkan tentang persahabatan yang telah 7 tahun terbina ini. Benar saja, mungkin tak lama lagi mereka akan terpisah jauh karna perbedaan cara meraih mimpi mereka. Bukan akhir tapi permulaan dari sesuatu yang sudah dimulai, menemukan jati diri masing-masing dengan alur yang diciptakan sendiri.

           Alunan merdu suara anak manusia yang melantunkan keluh kesah dunia, terus berpadu hingga lonceng berbunyi. Waktu akan memisahkan mereka, seperti percakapan yang harus usai kali ini. Berdekapan, Sehangat api unggun, pelukan itu semakin haru, disaat air mata mereka berpadu dan berlomba menuju bawah. Dengan janji mereka yang dilantunkan penuh penghayatan. Sang pendiri Istana angkat bicara, “Ini bukan kematian yang harus kita tangisi kawan. Sebuah perpisahan untuk jenjang yang lebih tinggi, namun bukan perpisahan abadi. Kelak kita kan tertawa lagi seperti hari ini.” Semua terdiam dan melihat sang pendiri istana. Lalu sang Penyair mulai berucap kata, “tali ini kan selalu ada, meski tak tersentuhkan raga ataupun berjumpa tatap muka. Senandungku akan selalu bergema, tawa kita akan terngiang di memori. Dan tangisan ini pacuan kita, kita akan berjumpa lagi dalam masa yang lebih baik.” Calon pemegang pentungan pun angkat bicara, “Benar kawan, 10 tahun lagi akan menjadi hari indah kita, dan kita harus berjanji kan berjumpa di gubug kenangan ini. Kenanglah hari ini kawan. Simpan dengan balutan terindah untuk kau taruh di loker memorimu.”
           Selepas malam haru itu, mereka berpisah dan mulai melangkah menuju mimpi masing-masing. Mulai berpacu dengan pola masing-masing. Terlihat pancaran semangat dari wajahnya, terbungkam mulut untuk merintih terlebih juga berdesah, mulai tak peduli dengan mulut-mulut orang yang mencoba menyilak buruknya. Kaki itu semakin tak ragu mencari rata kehidupan, mencari keindahan alur meski kadang tersandung. Mereka mengobarkan semangat juang, pantang menyerah, keindahan tak semu yang akan mereka dapat di masa nanti.
           Kini calon pemegang pentungan telah berubah menjadi pemegang pentungan secara resmi. Dengan gagahnya ia berjalan kesana-kemari dan setiap mata menghormatinya. Kebahagiaan mulai datang, begitu juga dengan cinta yang mulai dia dapatkan setelah 2 tahun memeras keringat. Di tahun ke 3, dia mulai membentuk hidup baru. Benar saja, dia tak lagi sendiri kali ini, dia telah berdiri di atas pelaminan bersama bidadarinya, yang di saksikan para petinggi-petinggi dan keluarga serta temannya untuk mengucap janji suci. Sang penyair pun hadir sendiri untuk memberi ucapan selamat. Menjadi reuni sesaat, meski mereka hanya sejenak bertemu bahkan hanya berjabat tangan dan menyapa senyum dan beberapa untaian kata ucapan.
           Sang pendiri Istana masih berkecimpung di dunia yang sama, sampai tahun ke 2. Dan di tahun ke 3, tepatnya 3 bulan sebelum pernikahan pemegang pentungan, dia berangkat ke negeri seberang. Dia memilih menjadi pahlawan untuk negeri ini, pahlawan devisa. Kala itu umurnya 23 tahun, sedang semangat-semangatnya untuk menggapai asa setelah penantiannya dan ia dapatkan sepucuk kertas itu. Dan 5 tahun kemudian dia kembali, tepatnya  di tahun ke 8 sejak malam itu, dia ditemani seorang wanita dari negeri tempat ia mencari mimpi. Benar saja, dia menikah di umur 28, berbeda dengan sang pemegang pentungan yang telah naik ke pelaminan di umur 22 dan kini telah memiliki satu buah hati. Namun kali ini sang penyair tak datang di pelaminannya. Bahkan tak ada kabar, mengapa ia tak datang kali ini.
           Ternyata sang penyair memilih untuk menimba pengetahuaan di sebuah gedung informatika di kota pelajar. Dia sempat meneruskan hobinya dengan menjadi penyair selama 3 tahun, tapi setelah predikatnya dia dapat, dia berpindah ke metropolitan dan mengubah pola kebiasaannya. Benar saja, predikat yang didapat melalui proses yang tak mudah, dia harus banting tulang untuk membiayai proses itu, meski ia dibantu keluarga yang sangat menyanyanginya, dia tak mau sepenuhnya merepotkan. Di tahun ke 7, saat berumur 25 tahun, ia kembali ke tempat kelahirannya, dengan membawa seorang gadis yang ia cintai. Lalu kembali ke metropolitan. Dan ketika tahun ke 9 dia meminang cintanya, dia mengundang pemegan pentungan dan pembuat istana, namun karna kota cukup jauh, mereka berdua tak dapat hadir dalam upacara sakral kali ini.
           Tahun yang dinantikan datang, mereka mulai menentukan hari dan bersiap untuk reuni kali ini. Akhirnya hari itu tiba, dan mereka berjumpa, tatap muka, dalam ruang yang sedikit berubah letak geografisnya. Amat sangat tampak berbeda kali ini, semua tampak dewasa. Bahkan sang penyair yang dulu paling kecil tubuhnya juga paling muda, dia pun juga berubah dewasa. Di awal pertemuan ini tak ada air mata, dan hanya bertanya tentang mimpi yang pernah dikatakan dahulu, bercerita tentang kehidupan saat ini, tentang cita-cita, keluarga dan buah hati mereka. Kebahagiaan amat terasa meski saling gengsi untuk berpelukan seperti sepuluh tahun yang lalu, dan kali ini perjuangan telah terpenuhi, dari tawa bahagia mereka, semuanya terpancar.Setelah cukup lama berbicara, tiba-tiba mereka saling berdiam, bertatap muka, bungkam seribu bahasa. Sampai akhirnya senyum disertai air mata terlihat dari sang pendiri Istana yang tadinya terlihat ceria. Dia mulai merangkul para sahabatnya dan berkata, “Aku rindu kalian kawan”. Mereka pun saling berpelukan bahagia, membuang rasa gengsi dan canggung dalam diri. “Aku ingat betul persahabatan ini kawan, ini mimpi kita.” Sahut pemegang pentungan. Hari ini menjadi tawa indah dan bahagia Tiga sahabat masa Menegah Pertama. DAA yang masih bergema setelah 10 tahun tak bersama.

(Kisah nyata yang diberi sentuhan khayalan) | JANUARI 2014
Andika Dwi Yulianto (Penyair)
Dwi Santosa (Pendiri Istana)
Agung Cahyono (Pemegang Pentungan)



             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar